Sunday, May 11, 2008

Ayat-ayat Cinta





Jenis Film:
DRAMA

Pemain:
FEDI NURIL, RIANTI CARTWRIGHT, CARISSA PUTRI, ZASKIA ADYA MECCA, MELANIE PUTRIA, HJ. MIEKE WIJAYA

Sutradara:
HANUNG BRAMANTYO

Penulis:
SALMAN ARISTO/GINATRI NOER/HABIBURRACHMAN EL SHIRA

Produser:
DHAMOO PUNJABI, MANOJ PUNJABI

Produksi:
MD PICTURES

Durasi:
120 MIN

Ini adalah kisah cinta. Tapi bukan cuma sekedar kisah cinta yang biasa. Ini tentang bagaimana menghadapi turun-naiknya persoalan hidup dengan cara Islam. Fahri bin Abdillah (Fedi Nuril) adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berjibaku dengan panas-debu Mesir. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusiasme kecuali satu: menikah. Kenapa? Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu ‘lurus’. Dia tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Dia kurang artikulatif saat berhadapan dengan mahluk bernama perempuan. Hanya ada sedikit perempuan yang dekat dengannya selama ini. Neneknya, Ibunya dan saudara perempuannya. Betul begitu? Sepertinya pindah ke Mesir membuat hal itu berubah

Tersebutlah Maria Girgis (Carissa Putri). Tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al Quran. Dan menganggumi Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta. Sayang cinta Maria hanya tercurah dalam diary saja. Lalu ada Nurul (Melanie Putria). Anak seorang kyai terkenal yang juga mengeruk ilmu di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebak-nebak. Setelah itu ada Noura (Zaskia Adya Mecca). Juga tetangga yang selalu disika Ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura menuduh Fahri memperkosanya

Terakhir muncullah Aisha (Rianti Cartwright). Si mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya. Lalu bagaimana bocah desa nan lurus itu menghadapi ini semua? Siapa yang dipilihnya? Bisakah dia menjalani semua dalam jalur Islam yang sangat dia yakini?


Quallesqy :
Nonton film ini sudah lama juga, dari film ini pertama kali go public kami langsung ke bioskop untuk menonton film ini. Awalnya saya berfikir bahwa film ini adalah langkah awal untuk menggebrak dunia layar lebar kita yang sedang penuh dengan setan-setan dari drakula sampe yang ngesot-ngesot numplek bleg di tuentiwan.

Sebetulnya saya amat tergila-gila dengan novelnya, walaupun memiliki banyak kekurangan di sana sini, tapi saya menganggapnya sebagai hal yang wajar, mengingat kang Abik bukanlah Tuhan semesta alam yang dapat menciptakan sesuatu tanpa cacat. Berbagai kritik, cacian dan pujian terus mengikuti kesuksesan film ini. Dari Rakyat kampung, nenek-nenek, kakek-kakek yang baru pertama kali ke bioskop, sampe presiden SBY dan JK juga ikutan nonton, bagaimana tidak dikatakan bahwa film ini sukses luar biasa? Bahkan konon katanya (kata siapa gak tau :p ), ini adalah film tersukses sepanjang perfilman Indonesia. Bergetar rasanya mendengarnya, entah kenapa . . .

Sekarang setelah beberapa saat berlalu, kesan yang muncul terhadap filmnya jauh berbeda dengan kesan yang masih terpatri kuat ketika membaca novelnya. Setelah dipikir ulang, dan terus dipikir (karena kepikiran :) ) akhirnya saya tersadar, ini bukanlah film religius seperti novelnya! Banyak sekali esensi Islami yang hilang dalam filmnya, banyak ajaran-ajaran yang hilang, yang tidak dimasukkan dengan alasan SARA dan segala omong kosong tentang toleransi dalam Islam! Banyak pelajaran-pelajaran Islam yang begitu pekat dalam novelnya hilang begitu saja dalam filmnya!

Castingnya pun terkesan asal-asalan, semua image karakter yang sudah tertanam kuat dalam novelnya berubah drastis. Fahri yang seharusnya lembut, tenang dan bahagia lebih berkesan urakan dan selalu berkesusahan. Paling parah adalah Image Aisha yang dihancurkan begitu rupa. Aisha dalam novelnya lebih digambarkan sebagai seorang Istri yang shalehah, lembut dan taat pada suaminya. Hampir tidak ada perbuatan Aisha yang membuat Fahri khawatir, tapi di filmnya, semuanya berbalik. Saya yakin ini digunakan untuk lebih menonjolkan sisi dramanya. Karakter lain yang rusak adalah Maria, entah kenapa kesan ceria si Maria digambarkan dengan suara yang cempreng bikin sakit telinga. Terlebih lagi image Maria kan seharusnya Kristen Koptik yang menggunakan pakaian yang lebih tertutup dari para muslimah di Mesir yang mulai mengenakan pakaian ketat, bedanya dia tidak pakai Jilbab, itu saja. Maria juga digambarkan begitu bebas dengan Fahri dan teman-teman kostannya, padahal walaupun dalam novelnya digambarkan demikian tetap saja ada batasan-batasan diantara mereka.

Secara bisnis, walaupun katanya laris, tapi kok kayaknya semu ya? Kalau saya bilang orang-orang pebisnis film sekarang-sekarang ini pengecut. Mereka berlomba-lomba mentranslasikan novel-novel box office ke film, mereka sudah tidak berani lagi membuat film dengan alur cerita original. Dengan mentranslasikan novelnya, artinya mereka tidak usah susah-susah lagi memprediksikan berapa banyak penonton, karena hampir bisa dipastikan 50% pembaca bukunya akan menonton film tersebut.

Dengan asumsi seperti itu, maka sutradara dkk, cukup mengikuti alur cerita, merobek2 bagian yang menurut mereka tidak cocok, dan memasukkan ide-ide gila gak penting yang ada di otak kosong mereka ke dalam film mereka. Inilah yang terjadi di AAC, poligami diangkat tanpa bisa menunjukkan arti sesungguhnya dari poligami dalam Islam. Mereka sudah tidak lagi mengkhawatirkan pemasaran dan rating, karena novelnya sudah menunjukkan kualitasnya.

Dengan jumlah pembaca lebih dari 3 juta orang (pembeli original plus bajakan :) ) bisa dipastikan 1.5 juta orangnya menonton film ini, kalaupun sampai lebih dari 3 juta orang, maka bisa dipastikan setengahnya lagi adalah mereka-mereka yang baru selesai membaca novelnya. Oleh karenanya gak heran juga kalau sebelum filmnya rilis, pihak MDE sudah gembar-gembor dengan proses produksinya (yang katanya mau ke mesir tapi gak jadi), rencana rilis filmnya dan pake acara di mundurin lah rilis filmnya, intinya sih ngasih kesempatan orang untuk baca novelnya, kemudian penasaran dengan filmnya, jadi deh nonton filmnya. Yah, kalau kita lihat penjelasan di atas gak heran kan kalau filmnya sukses berat? Kalau filmnya sukses berat apalagi novelnya.

Overall, Mas Hanung itu pengecut, gak berani tampil dengan karya aslinya. Beraninya cuman nebeng kesuksesan orang aja. Kalau AAC gak ada novelnya, saya rasa tidak akan selaku ini.

Komentarnya jangan banyak2, jangan pedes2 ya . . . :P


No comments: